Rabu, 10 Maret 2010

Manajemen Kredit Syariah pada Bank Mualat

Manajemen Kredit Syariah pada Bank Mualat

Menurut UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah berubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang tagihan atau yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Kredit ini dapat digolongkan kedalam enam bentuk yaitu :
Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara lain :
Kredit jangka pendek (short-term loan).
Kredit jangka menengah (medium-term loan)
Kredit jangka panjang (long-term loan).
Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain :
Kredit dengan jaminan (secured loan).
Kredit dengan jaminan (unsecured loan).
Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, pharmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.
Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain :
kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di bidang perdagangan.
Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.
Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar produksi.





Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain :
Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk menambah modal kerja debitur.
Kredit investasi (Invesment credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli barang-barang modal.
Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.
Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit, oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi stabilitas keuangan bank. Menurut Rahardja (1997), penilaian kredit harus memenuhi criteria sebagai berikut :
Keamanan kredit (safety). Harus benar-benar diyakini bahwa kredit tersebut dapat dilunasi kembali.
Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah.
Menurut Sinungan (1993), metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kredit adalah dengan menggunakan formula 4P, yaitu : (1) Personality ; (2) Purpose ; (3) Prospect; (4) Payment. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penilaian kredit (Rahardja:1997), antara lain : (1) Character ; (2) Capacity ; (3) Capital ; (4) Conditional ; (5) Collateral.
Risiko Bank Syariah pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan bank konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti pada bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.
Jika pendapatan dari kredit atau dalam Bank Syariah disebut murabahah ditetapkan 10 persen, maka pada mudharabah (sistem bagi hasil) akan ditetapkan angka yang lebih rendah. Selisihnya ialah pendapatan bank sebagai biaya jasa. Resiko Bank Syariah terhadap transaksi foreign exchange juga rendah karena pada Bank Syariah transaksi valas hanya diizinkan dalam bentuk transaksi spot. Sementara forward dan swap tidak diizinkan karena bersifat gambling.
Aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit, yang menyangkut kegiatan usaha calon debitur (Siamat:1999), ialah:
Aspek pemasaran.
Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat, keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain sebagainya.
Aspek teknis.
Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi, mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku.
Aspek manajemen.
Meliputi struktur dan susunan organisasi, termasuk pengalaman anggota dan pola kepemimpinan manajemen.
Aspek yuridis.
Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin usaha dan legalitas barang jaminan.
Aspek sosial ekonomi.
Meliputi keadaan keuangan perusahaan debitur yang dibiayai.
Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada syariah Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist). Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank syariah diharapkan bisa lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain, penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.

Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah atau bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :
Modal (capital).
Human resource activity (kegiatan operasional).
Operational management system (sistem manajemen keuangan).
Financial management system (sistem manajemen keuangan).
Loyality of credit (loyalitas kredit).
Pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Mekanisme seperti ini akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam Bank Syariah, karakter nasabah (personal guarantee) lebih dinomorsatukan, jika dibandingkan dengan cover guarantee berupa aset. Debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya baik akan mendapat prioritas.

Hubungan Antara Kredit dengan Piutang
Piutang ialah cadangan penerimaan yang mungkin diterima oleh suatu badan usaha dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. Piutang timbul akibat adanya pendanaan dalam bentuk pemberian kredit dan pemberian jasa lainnya, dimana pembayaran dari penggunaan jasa tersebut dilakukan pada waktu tertentu, misal harian, mingguan, bulanan atau periode waktu lainnya. Besarnya piutang yang akan diterima badan usaha (bank atau lembaga keuangan), ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pemberi jasa (bank atau lembaga keuangan) dan pihak pengguna jasa. Semakin besarnya kredit yang diberikan, akan menambah besarnya resiko yang akan ditanggung badan usaha.
Resiko kredit karena adanya piutang bisa dilihat melalui prosentase perbandingan antara jumlah kredit bermasalah dengan jumlah harta keseluruhan. Resiko lain yang dapat ditimbulkan oleh piutang adalah pada penerimaan bersih (earning after taxes). Semakin besar jumlah piutang dan jumlah piutang tak tertagih (bad debt) yang dimiliki badan usaha, akan mengakibatkan semakin kecil penerimaan bersih yang dapat diperoleh badan usaha, baik lembaga keuangan maupun bank. Karena piutang sangat berpengaruh terhadap kestabilan usaha, piutang perlu dikelola dengan baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen piutang, antara lain:
Credit policy.
Kebijakan kredit ini menyangkut bagaimana jangka waktu penetapan piutang, besarnya piutang dan penetapan cara-cara pembayaran oleh debitur.
Credit scoring.
Hal ini berkaitan dengan penilaian kredit dan pemberian ranking (pengelompok piutang).
Credit standard.
Standar atau patokan terhadap pemberian ranking dalam penilaian kredit bank.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar