Rabu, 17 Maret 2010

Money Laundering

Money Laundring
Kini perbankan menjadi lahan subur untuk praktek money laundering. Ratusan kasus terjadi tiap tahun dengan modus yang semakin canggih dan rumit.
Laporan Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United States, Maret 2003 dengan judul “International Narcotic Control Strategy Report” menyebutkan Indonesia, bersama 53 negara lain, termasuk dalam kelompok Major Laundering Countries di wilayah Asia Pasifik. Hal ini berarti bahwa Indonesia dianggap sebagai negara yang sistem keuangannya terkontaminasi bisnis narkotika internasional dan melibatkan dana dalam jumlah sangat besar.
Kejahatan transnasional ini memang menjadi hal yang menakutkan bagi semua negara dan jaringan perbankan global. Hal ini dikarenakan bank yang dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk membersihkan dana hasil kejahatan mereka.
Pencucian uang merupakan upaya membersihkan dana hasil kejahatan dengan cara menyembunyikan, menyamarkan, atau mengaburkannya melalui kliring-kliring lembaga keuangan atau perbankan. Tujuannya agar dana haram tersebut seolah-olah merupakan uang halal hasil kegiatan yang legal.
Sayangnya, aksi ini sulit dijerat dan dibuktikan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada 7.179 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang terjadi di bank sampai 28 Februari 2007 dan dari hasil analisis terhadap 650 LTKM, PPATK telah melimpahkan 448 kasus ke pihak kepolisian dan kejaksaan. Kurang lebih 90% di antaranya diduga berasal dari tindak pidana korupsi, penipuan, kejahatan perbankan, terorisme, dan penggelapan pajak.

Membersihkan praktek pencucian uang bukanlah hal yang sangat mudah. Modus operandinya kian kompleks dengan memanfaatkan teknologi dan rekayasa keuangan yang rumit. Misalnya modus layering yang sulit dideteksi karena uang yang ditempatkan di bank berulang kali dipindahkan ke bank lain, baik antarnegara maupun lintas negara. Untuk mendeteksinya, dibutuhkan dukungan sistem teknologi informasi (TI) yang sangat memadai.
Selain itu untuk memerangi praktek pencucian uang ini juga dibutuhkan dukungan bank. Bahkan, bank seharusnya pada garis terdepan. Seperti halnya yang dilakukan oleh PermataBank. Belum lama ini, PermataBankini berhasil menerapkan Anti Money Laundering System BankAlert (AMLSB). Sistem ini menjadi peranti deteksi dini secara online dan real time terhadap indikasi praktek pencucian uang.
Sistem AMLSB milik PermataBank pada prinsipnya bekerja dengan tiga komponen inti: sistem database, analitikal, dan against. Against merupakan perangkat lunak yang dibuat disetiap perangkat lunak operasional, seperti bagian layanan pelanggan. Jadi, ketika ada pembukaan rekening baru, piranti ini akan mengambil data calon nasabah tersebut lalu mengirimnya ke sistemanalisis. Di saat bersamaan, piranti yang sama juga mengambil data dari sistem database dan mengirimnya pula ke sistem analisis. Informasi dan data ini kemudian diolah dan dianalisis oleh sistem, kemudian hasilnya dikirim kembali berupa informasi status. Jadi, setiap transaksi secara otomatis diproses dan disinkronisasi lebih dulu dengan database nasabah dan daftar hitam milik Permatabank. “Kalau ternyata nama tersebut masuk daftar hitam, otomatis informasi tersebut bisa cepat diketahui.” Ketika ditemukan ketidakwajaran - baik dilihat dari pola transaksi maupun profil nasabahnya - secara otomatis sistem ini memberikan peringatan dini, termasuk memblokirnya. Sebagai contoh, transaksi yang melibatkan nama yang masuk dalam Daftar Hitam Bank Indonesia (DHBI), otomatis akan muncul pesan mengenai status blokir. Prosesnya baru bisa dilanjutkan kalau mendapatkan validasi dan jaminan dari pejabat bank yang berwenang yang menyatakan transaksi tersebut wajar.
Dengan alur proses seperti ini, sistem AMLSB membutuhkan database yang bagus. Bank harus selalu memperkaya informasi di dalam database-nya untuk dapat menangkap setiap indikasi pencucian uang. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, lewat menjalin kerja sama strategis dan menghubungkan sistem database antarperusahaan. AMLSB juga harus terhubung dengan DHBI maupun daftar orangyang masuk jaringan teroris internasional.
Disamping itu, AMLSB memiliki fitur Office of Foreign Asset Control, serta fungsi deteksi real time terhadap transaksi incoming remittance yang tak sesuai dengan karakteristik nasabah. Kelebihan lainnya adalah AMLSB bisa membuat diagram alur transaksi uang yang mencurigakan. Dari sisi pelaporan, peranti ini mampu memberikan bobot risiko kepada setiap transaksi berdasarkan analisis terhadap profil nasabah maupun transaksinya.
Sayangnya, bank-bank nasional yang memiliki sistem AMLSB jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Seperti, Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI mengembangkan sistem anti money laundering (AML) sejak beberapa tahun lalu. Mereka menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan Infrasoft Technologies Ltd., sebuah perusahaan berbasis di India. Hebatnya, bank yang tahun lalu membukukan laba bersih Rp4,25 triliun ini telah menerapkan sistem tersebut di lebih dari 950 kantor cabang dan terhubung dengan arsitektur core banking yang terintegrasi.
Untuk menangkal praktek pencucian uang, mereka menerapkan sistem antimoney laundering (AML) sendiri. Kendati dikembangkan sendiri, mereka merasa peranti tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan saat ini.
Sistem itu juga membantu mempercepat deteksi terjadinya fraud dan praktek pencucian uang. Namun, kerawanan aksi pencucian uang tergantung pula pada ketegasan dan penegakan hukumnya. Dalam kasus pencucian uang, perbankan juga membutuhkan proteksidari aparat hokum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar