Uang, Sistem Perbankan, dan Valuta Asing
Setelah runtuhnya sistem Bretton Woods dan berkembangnya sistem kurs mengambang, bagi negara berkembang seperti Indonesia, peranan kurs valas menjadi penting, terutama terhadap mata uang keras (hard currencies) seperti dolar AS, dan Yen Jepang. Pentingnya kurs valas ini disebabkan karena negara yang tengah melakukan pembangunan ekonomi sehingga kurs valas akan berhubungan langsung dengan sektor-sektor perdagangan luar negeri, investasi, bahkan berkaitan langsung dengan beban utang Luar Negeriyang merupakan sumber dana pembangunan. Oleh karena itu, kestabilan dan keterjangkauan kurs sangat diperlukan. Indonesia mengalami fluktuasi kurs yang tajam selama periode krisis ekonomi dan moneter mulai pertengahan tahun 1997. Gejolak nilai kurs ini tidak terlepas dari pengaruh variabel-variabel non-ekonomi yang seringkali lebih berpengaruh dalam menciptakan fluktuasi kurs valas. Selama periode krisis ekonomi bisa kita lihat bahwa nilai kurs ini sangat mempengaruhi kondisi perekonomian domestik.
Awal dari krisis ekonomi di Indonesia adalah terpuruknya mata uang domestik (Rupiah) terhadap mata uang asing, terpuruknya mata uang domestik terhadap mata uang asing ini berasal dari permintaan akan uang luar negeri yang begitu tinggi, sedangkan penawarannya terbatas. Hal inilah yang membuat nilai valuta asing (valas) keras seperti Dolar AS dan Yen Jepang membubung tinggi. Selain itu nilai kurs juga tidak terlepas dari variabel-varibel lain seperti tingkat suku bunga dalam dan luar negeri, jumlah uang yang beredar, tingkat harga yang diindikasikan dengan tingkat inflasi, serta variabel-variabel ekonomi dan non-ekonomi lainnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat nilai kurs valas bersifat rentan (volatile).
Fluktuasi kurs ini membuat sektor-sektor perdagangan dan sektor riil menjadi bangkrut, serta beban utang luar negeri yang merupakan sebagian dana untuk pembangunan menjadi semakin besar. Proses percepatan pemulihan ekonomi untuk mencapai kondisi perekonomian tidak terlepas dari usaha untuk menciptakan sistem kurs valas yang mendukung kestabilan dan keterjangkauan kurs. Bahkan sampai saat ini pelaku-pelaku ekonomi masih dibayangi terjadinya krisis ekonomi lanjutan yang merupakan ekses buruk dari fluktuasi kurs valas. Hal ini akan membawa dampak buruk bagi percepatan proses pemulihan ekonomi.
Di dunia usaha, rendahnya kepercayaan pelaku pasar terlihat dari rendahnya minat untuk berinvestasi di Indonesia. Dana masyarakat yang ada di bank-bank dalam negeri, sekarang ini paling tidak Rp 800 trilyun. Namun yang mampu diserap dunia usaha baru sekitar Rp 17 trilyun, padahal terdapat persetujuan penyaluran kredit dari perbankan sebesar Rp 70 trilyun. Disisi pemerintah jelas nampak arah kontraksiekonomi yang berlebihan. Untuk mendukung RAPBN tersebut pemerintah juga harus berjuang mati-matian untuk dapat mencapai asumsi-asumsi yang ditetapkan. Asumsi defisit anggaran sebesar 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 42,1 trilyun, dimana komponen kewajiban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri belum dimasukkan sebesar Rp 44 trilyun. Dengan memasukkan komponen cicilan pokok utang luar negeri ini, asumsi defisit anggaran mrnjadi sebesar Rp 86,1 trilyun atau 5,11 persen dari PDB. Disini dapa kita lihat bahwa kemampuan pemerintah untuk bisa menciptakan nilaikurs Rp/Dolar sesuai dengan asumsi yang ditetapkan menjadi sangat penting. Hal ini adalah target yang sangat berat uang harus dipikul pemerintah di tengah situasi ketidakpastian perekonomian dunia dan ancaman resesi global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar